Jika kau melihat penindasan dan bergetar hati mu, Dan masuk dalam barisan ku!! Maka kau adalah saudara ku!!

Senin, 19 Oktober 2009

APAKAH TEORI HUKUM ITU ?

Hukum adalah hal-hal yang berkenaan tentang apa yang sudah diputuskan oleh institusi hukum, seperti dewan kota, dan peradilan di masa lampau. Namun demikian hukum itu tak lain dari suatu putusan-putusan yang dipengaruhi oleh preferensi kelas atau ideologi (adanya keberpihakan).
Hukum (yang lahir dari putusan hakim) ternyata sangat dipengaruhi oleh keterampilan, kebijakan politik, pemahaman tentang peran hakim dalam menggali keadilan di masyarakat. Dengan demikian berpulang kepada pemahaman dan subyektifitas dari pandangan hukum dari masing-masing orang.
Hukum dan Teori Hukum adalah dua obyek yang terpisah, masing-masing dikhususkan bagi dua jenis yuris yang bebas antara yang satu dengan yang lainnya, diibaratkan seperti dua dunia. Mungkin sekali para teoretisi hukum dan filsuf hukum sendiri yang bertanggung-jawab atas pemisahan ini.
Teori hukum, mencari (memperoleh) penjelasan tentang hukum dari sudut faktor-faktor bukan hukum (non-yuridikal) yang bekerja di dalam masyarakat, dan untuk itu menggunakan suatu metode interdisipliner.
Secara umum Teori Hukum dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang menjelaskan tentang hukum.

I. Teori Hukum dalam Arti Luas
Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.
Teori hukum terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum terutama berminat pada keberlakuan empirik atau faktual dari hukum. Hal ini menunjukkan bahwa sosiologi hukum tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai sistem konseptual itu sendiri, melainkan pada kenyataan kemasyarakatan, yang di dalamnya hukum memainkan peran. Objek sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan kemasyarakatan dan baru pada tingkat kedua kaidah-kaidah hukum, yang dengan salah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan itu.
Bagi sosiologi hukum masalahnya berkenaan dengan semua jenis akibat, yang dimaksudkan dan yang tidak ditimbulkan kaidah-kaidah hukum dalam kenyataan kemasyarakatan. Karena itu juga kita dapat mendefinisikan sosiologi hukum sebagai “teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan”.
Hubungan ini dapat dipelajari dengan dua cara. Orang dapat mencoba menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan kemasyarakatan, tetapi orang juga dapat menjelaskan kenyataan dari sudut kaidah-kaidah hukum.
Penetapan tujuan yang menjadi perhatian sosiolog hukum tentu saja dapat berbeda. Setidak-tidaknya bagi sosiolog hukum selalu berkenaan dengan penetapan tujuan teoretik, yakni memberikan pemahaman tentang gejala-gejala kemasyarakatan.
Sosiologi hukum dapat dibedakan ke dalam dua aliran penting, yaitu sosiologi hukum empirik dan sosiologi hukum kontemplatif/evaluatif (beschouwende rechtssociologie).
Sosiologi hukum empirik mengumpulkan bahan-bahannya dari sudut suatu perspektif eksternal, artinya dari suatu titik berdiri pengamat yang mengobservasi. Dengan menggunakan metode-metode kuantitatif ia mencoba sambil meregistrasi menata material ini untuk dari dalamnya menarik kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan. Metode yang ia pergunakan di sini sangat bersandar pada metode-metode dari ilmu alam.
Di samping sosiologi hukum empirik terdapat sosiolog hukum kontemplatif (beschouwende rechtssociologie). Berkenaan dengan objek penelitian dan penetapan tujuan yang disebut di atas, ia (sosiolog kontemplatif) menempatkan diri pada suatu perspektif yang lain. Baginya, suatu perspektif eksternal tidak dapat diterima sehubungan dengan objek yang dipelajarinya. Untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang memainkan peranan penting di dalamnya, maka ia harus menjadi bagian dari masyarakat itu dan mengenal baik kaidah-kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Hal ini menyebabkan perspektif eksternal untuk penelitian itu tidak dapat digunakan. Ia harus bekerja dari sudut perspektif internal, yakni perspektif partisipan yang ikut berbicara.

b. Dogmatika Hukum
Menurut M. van Hoecke, dogmatika hukum adalah cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif.
Dogmatika hukum dapat diartikan sebagai ilmu hukum dalam arti sempit. Objek dogmatika hukum adalah terutama hukum positif. Dengan ini dimaksudkan sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum oleh para pengemban kewenangan hukum disebut pembentukan hukum (rechtsvorming), dan pengambilan putusan hukum oleh para pengemban kewenangan hukum (lain) disebut penemuan hukum (rechtsvinding).

c. Teori Hukum dalam Arti Sempit
Tentang kajian ini nampaknya belum begitu jelas, karena kajian (studinya) berada pada wilayah dogmatika hukum dan filsafat hukum.
Terdapat dua cabang dalam teori hukum dalam arti sempit ini yang masing-masing memiliki objek sendiri. Pertama-tama terdapat teori hukum sebagai teori tentang hukum positif, yang mempelajari aspek-aspek lain ketimbang yang dipelajari dalam dogmatika hukum. Selanjutnya ada teori hukum yang merupakan teori tentang dogmatika hukum itu sendiri dan juga teori tentang kegiatan-kegiatan yang terkait pada pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Jadi, ada dua jenis teori hukum. Cabang tertua teori hukum adalah teori yang seperti dogmatika hukum berkenaan dengan hukum positif. Teori hukum ini membedakan diri dari dogmatika hukum, karena ia memiliki penentuan tujuan yang berbeda sekali, yakni semata-mata teoretikal. Yang menjadi persoalan bagi teoretikus hukum adalah mengolah masalah-masalah umum berkenaan dengan hukum positif. Karena itu, teori hukum juga tidak membatasi diri pada satu sistem hukum positif nasional tertentu.
Jenis teori hukum kedua mencakup kegiatan-kegiatan yuridik seperti pengembanan dogmatika hukum, pembentukan hukum dan penemuan hukum. Dalam bidang ini, berbagai bagian dari jenis teori hukum ini diberi nama sesuai dengan jenis kegiatan yuridik, misalnya teori ilmu hukum, teori perundang-undangan, atau teori pembentukan aturan dan teori penemuan hukum. Objek yang penting pada bagian-bagian ini adalah studi tentang metode yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan yuridik tersebut.

d. Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang saling fundamental yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalah-masalah itu akan melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru.
Dalam filsafat hukum juga dibedakan berbagai wilayah bagian, yaitu :
Ontologi hukum (ajaran pengada; zijnsleer) : penelitian tentang hakikat hukum dan hubungan antara hukum dan moral.
Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer) : penetapan isi nilai-nilai, seperti keadilan, kepatutan, persamaan, kebebasan, dan sebagainya.
Ideologi hukum (ajaran idea, ideeenleer) : pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat.
Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang ‘hakikat’ hukum dimungkinkan.
Teleologi hukum (ajaran tujuan, finaliteitsleer) : menentukan makna dan tujuan dari hukum.
Teori-ilmu dari hukum : ini adalah filsafat sebagai meta-teori tentang teori hukum dan sebagai meta-meta teori dari dogmatika hukum.
Logika hukum : penelitian tentang kaidah-kaidah berpikir yuridik dan argumentasi yuridik.

II. Faktor-faktor Pembentukan Hukum
Ada beberapa faktor-faktor pembentukan hukum, antara lain :
a. Situasi faktual
Situasi faktual adalah suatu keterberian, yang dipahami di dalam kesadaran sebagai suatu totalitas pengalaman dari suatu baik lingkungan material maupun lingkungan manusiawi.
b. Keyakinan-keyakinan idiil
Dengan adanya keyakinan-keyakinan idiil dimaksudkan supaya pandangan-pandangan yang berlaku atau sedang berkembang di dalam masyarakat akan menjadi motif utama dalam melakukan penataan hukum (rechtsordening).

III. Wilayah Telaah Teori Hukum
Wilayah telaah tradisional Teori Hukum secara umum dapat dibagi ke dalam 4 bagian yaitu :
a. Analisis tentang Hukum
Salah satu tugas dari Teori Hukum yang paling menonjol adalah analisis tentang hukum dan Ilmu Hukum. Dalam hal ini kita bisa melihat unsur-unsur yang dijabarkan oleh Teori Hukum antara lain : sistem hukum, kaidah hukum, asas-asas hukum, pengertian-pengertian hukum, hubungan hukum, tatanan hukum, pengertian dari hukum, bahasa hukum.
Namun pada umumnya, orang berupaya untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang struktur dari sistem hukum, tentang sifat dan struktur dari kaidah hukum, tentang fungsi dari asas-asas hukum, tentang arti dan daya jangkau dari konsep-konsep inti dalam hukum (basic legal concepts), seperti kewajiban hukum, hubungan hukum, hukum subyektif, badan hukum, pertanggung-gugatan dan sejenisnya, dan ini secara relatif terlepas dari suatu sistem hukum positif yang konkret.
Wilayah-wilayah dari Teori Hukum bersandar paling dekat pada Dogmatika Hukum. Untuk sebagian besar orang, hal ini hanya merupakan masalah kesepakatan. Faktanya adalah bahwa tiap persoalan yang kurang lebih teoretikal di mata yuris praktisi akan segera saja dikualifikasikan sebagai “Teori Hukum”. Teori Hukum misalnya akan meneliti sejauh mana suatu pengertian seperti penyalahgunaan hak secara logika dapat dipertanggung jawabkan? Teori Hukum juga akan menelaah apakah kualifikasi atas suatu perbuatan sebagai “penyalahgunaan hak” mewujudkan suatu penilaian moral, suatu penilain yuridis atau dua-duanya, jika ia menyangkut suatu penilaian moral, sejauh mana unsur moral ini oleh hakim dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum.
Teori Hukum sama sekali tidak berurusan untuk memberikan penyelesaian yuridik-teknikal terhadap masalah-masalah yuridikal yang muncul dalam suatu sistem hukum tertentu. Teori Hukum bertujuan untuk menganalisis, menjelaskan konstruksi-konstruksi yuridis-teknikal ini, dalam bentuk-bentuk penampilan konkret mereka.

b. Ajaran Metode dari hukum
Selain analisis pengertian-pengertian yuridikal dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, terdapat bidang yang juga merupakan wilayah-telaah tradisional dari Teori Hukum, yaitu Ajaran Metode dari hukum. Metodologi ini, yang pada asasnya menunjuk baik pada metode-metode dari Dogmatika Hukum, maupun pada metode-metode dari pembentukan hukum dan metode-metode dari penerapan hukum, dalam praktek telah mengembangkan diri hampir semata-mata pada tataran penerapan hukum, dan juga kebanyakan terbatas ada penemuan hukum oleh hakim.
Kegunaan langsung dari hal ini untuk praktek hukum, kebutuhan laten jika bukan kebutuhan manifes dari praktisi hukum akan suatu minimum pada metodologi dalam interpretasi Undang-undang, dan peranan penting hakim dalam masyarakat kita, menjelaskan daya tarik yang besar yang telah dijalankan oleh permasalahan ini terhadap para yuris baik dahulu maupun sekarang.

c. Ajaran Ilmu atas hukum
Ajaran Ilmu dari hukum sebagai wilayah-bagian dari Teori Hukum, dalam kenyataan tetap terbatas pada ajaran ilmu ilmu dari Dogmatika Hukum. Hukum itu sendiri adalah bukan ilmu, melainkan hanya objek dari ilmu-ilmu.
Teori Hukum sebagai ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Teori Hukum adalah antara lain: apakah Dogmatika Hukum itu suatu Ilmu Empirikal, suatu Ilmu Normatif dan/atau suatu Ilmu Heremeneutikal? Sejauh mana Dogmatika Hukum memenuhi tuntutan rasionalitas? Dalam derajat apa pengembanan hukum dapat bersifat rasional? Tentang jenis-jenis rasionalitas apa dalam kaitan ini kita dapat berbicara? Apa dan bagaimana hubungan Dogmatika Hukum dengan ilmu-ilmu lain?

d. Kritik ideologi atas hukum
Dalam wilayah-telaah Kritik Ideologi, Teori Hukum harus berupaya untuk menjalankan kritik-ideologikal dengan cara yang amat sangat obyektif. Di sini Teori Hukum menganalisis semua unsur-unsur ini pada kebermuatan ideologi mereka dan hanya mengkritik mereka berdasarkan keterberian-keterberian yang obyketif dan tidak berdasarkan nilai dan kaidah-kaidah lain yang secara implisit dan eksplisit diandaikan melawan (bertentangan dengan) nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ideologi-ideologi yang dikritik.
Jadi sebagai sebuah definisi global dengan mempertimbangkan wilayah-wilayah telaah tradisional Teori Hukum, maka Teori Hukum didefinisikan sebagai cabang dari Ilmu Hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal terberi ini.

IV. Metodologi Teori Hukum
Teori Hukum memiliki karakter interdisipliner, yang dalam pemaparan historikal telah antara lain tampil ke muka bahwa dari perkembangan ilmu dalam berbagai disiplin non-yuridikal yang mengambil hukum sebagai obyek studinya, seperti Sejarah Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum atau Logika Hukum, telah menimbulkan suatu kebutuhan pada suatu sintesis dari hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ilmiah ini sejauh mereka berkaitan dengan hukum.
Karakter interdispliner dari Teori Hukum tidak membatasi diri pada suatu kegiatan meregistrasi dan mensistematisasi secara pasif atas hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin lain. Dalam kerangka dari suatu penelitian bidang Teori Hukum, interdisiplinaritas dapat menampilkan diri dalam dua bentuk, yaitu :
a. Teoretisi hukum membatasi diri pada penggunaan hasil-hasil penelitian yang ada telah yang dilaksanakan dalam kerangka disiplin-disiplin non yuridikal;
b. Teoretisi hukum dalam kerangka penelitiannya (menyeluruh) melaksanakan suatu penelitian historikal hukum, sosiologikal hukum dan lain-lain, dengan metode dan cara kerja dari disiplin non yuridikal yang digunakannya.
Pokok-pokok sasaran dalam metodologi penelitian adalah sasaran (duel) apa yang menjadi tujuan (beoogd) dari penelitian itu. Dalam Teori Hukum sasaran dan tujuan juga akan menjelaskan tentang bentuk penelitian yang dilakukan dalam Teori Hukum, yaitu terbagi atas :
a. Penelitian yang memaparkan; pada suatu penelitian-memaparkan orang membatasi rencana dari studi pada suatu pemaparan, suatu analisis atas suatu klasifikasi, tanpa ada kegiatan ini orang secara langsung terarah pada konstruksi atau pengujian atas hipotesis-hipotesis atau atas teori-teori.
b. Penelitian yang menjelaskan; pada penelitian-menjelaskan dilakukan lewat konstruksi hipotesis-hipotesis dan teori-teori upaya untuk mengerti bagian-bagian tertentu dari kenyataan secara lebih baik, misalnya dengan memperlihatkan suatu hubungan tertentu di antara unsur-unsur dari kenyataan, yang dengan cara itu unsur-unsur ini tampil dalam suatu cahaya baru dan tampak berbeda dan dapat dimengerti dengan lebih baik.
Penelitian memaparkan dan penelitian menjelaskan adalah saling erat berkaitan dan saling membaur yang satu ke dalam yang lainnya. Sebab suatu penelitian memaparkan sesungguhnya terarah pada hal memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang kenyataan. Karena itu, kita juga hanya akan berbicara tentang penelitian “menjelaskan” jika secara eksplisit dikerjakan dengan hipotesis-hipotesis dan/atau dengan teori-teori.
Hipotesis-hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum diuji berkenaan dengan hubungan-hubungan dalam kenyataan. Agar secara metodologikal dapat diterima maka hipotesis-hipotesis itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga mereka terbuka bagi pengujian. Pengujian ini baik secara positif maupun secara negatif. Pengujian secara positif disebut “verifikasi”, sedangkan pengujian secara negatif disebut “falsifikasi”.
Sebuah teori harus memenuhi lima syarat untuk dapat dipandang sebagai teori ilmiah, yaitu :
a. Sebuah teori harus cermat;
b. Sebuah teori harus sederhana;
c. Sebuah teori harus konsisten;
d. Sebuah teori harus memiliki ruang lingkup jangkauan yang besar;
e. Sebuah teori harus produktif dalam hubungannya dengan temuan-temuan penelitian yang baru.

0 komentar:

Posting Komentar