Jika kau melihat penindasan dan bergetar hati mu, Dan masuk dalam barisan ku!! Maka kau adalah saudara ku!!

Senin, 19 Oktober 2009

KAIDAH HUKUM

Kaidah hukum adalah kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus berperilaku dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, apa yang dapat kita saling harapkan. Kaidah-kaidah itu menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan terutama apa yang harus tidak kita lakukan.

I. Kaidah-kaidah Perilaku
Kaidah-kaidah perilaku adalah kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau boleh berperilaku.
Kaidah-kaidah ini bertugas untuk menjamin bahwa tata hukum akan dapat menjamin fungsinya, yakni menata (meregulasi, mengatur) perilaku orang-orang dalam masyarakat. Setiap orang dalam hidupnya sering bersentuhan dengan kaidah-kaidah perilaku ini.
Ciri dari kaidah-kaidah perilaku adalah bahwa kaidah-kaidah tersebut meletakkan atau membebankan kewajiban-kewajiban. Di satu pihak kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan suatu perilaku tertentu, di pihak lain terdapat kewajiban-kewajiban untuk menjauhi atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Kaidah-kaidah perilaku ada beberapa jenis, yaitu:
1. Perintah
Perintah adalah kaidah-kaidah yang menetapkan bahwa hal menjalankan suatu perbuatan adalah suatu kewajiban.
2. Larangan
Larangan adalah kaidah-kaidah yang menentukan bahwa suatu perbuatan harus tidak dilakukan.
3. Izin (permisi)
Izin mewujudkan pengecualian dari suatu larangan. Kaidah yang di dalamnya izin diberikan, di dalam hukum sering tampil dalam sosok sebuah lisensi (vergunning).
4. Pembebasan (dispensasi)
Pembebasan mewujudkan pengecualian terhadap suatu perintah.
Antara empat perintah perilaku ini terdapat berbagai hubungan, yang juga dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu :
a. Sebuah perintah dan sebuah larangan saling mengecualikan (saling menutup yang satu terhadap lainnya), sebab bukankah orang tidak dapat pada waktu yang bersamaan mengemban kewajiban untuk melakukan sesuatu dan kewajiban untuk tidak melakukan hal itu. Jadi, terdapat suatu pertentangan antara sebuah perintah dan sebuah larangan, dan dengan itu orang memaksudkan bahwa suatu perilaku tertentu yang dilarang, tidak dapat pada waktu yang bersamaan juga diharuskan, tetapi mungkin saja terjadi bahwa perilaku tertentu ini tidak diperintahkan maupun tidak dilarang. Dalam logika hubungan ini disebut kontraris. Sebuah hubungan kontraris terdapat antara dua proposisi umum atau proposisi universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum), yang berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu, yang lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).
b. Sebuah perintah mengimplikasikan sebuah izin. Sebab, jika orang mengemban kewajiban untuk melakukan sesuatu, maka orang tersebut juga pasti mempunyai izin untuk melakukan hal itu. Dengan cara yang sama sebuah larangan mengimplikasikan sebuah pembebasan (dispensasi), sebab jika orang mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, maka orang termaksud itu juga mempunyai izin untuk tidak melakukan sesuatu itu. Jadi terdapat suatu “implikasi” secara respekstif antara sebuah perintah dan sebuah izin, dan antara sebuah larangan dan sebuah dispensasi, dalam arti bahwa jika suatu perilaku tertentu diperintahkan maka orang itu juga mempunyai izin untuk berperilaku demikian, dan bahwa jika suatu perilaku tertentu dilarang maka orang itu juga dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Dalam Logika hubungan demikian ini disebut subalternasi. Hubungan sub-alternasi terdapat antara sebuah proposisi universal dan sebuah proposisi partikular (hubungan ini berkenaan dengan di satu pihak sebuah kewajiban umum dan di lain pihak sebuah kebolehan khusus) yang kualitasnya sama (atau untuk melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu).
c. Sebuah izin dan dispensasi (pembebasan) tidak saling “menggigit”, sebab orang dapat mempunyai izin untuk melakukan sesuatu, dan pada saat yang sama ia dapat mempunyai izin untuk tidak melakukan hal itu. Jadi, antara izin dan dispensasi terdapat suatu “kontras semu”. Jika suatu perilaku tertentu diperbolehkan, maka terdapat kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Namun tidak mungkin terjadi bahwa suatu perilaku tertentu tidak diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Hubungan ini dalam Logika disebut hubungan subkontraris.
d. Akhirnya sebuah perintah dan sebuah dispensasi, seperti juga sebuah larangan dan sebuah izin, tidak dapat ada (berlaku) bersama-sama. Bukankah orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan hal itu. Begitu juga orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu padahal pada saat yang sama ia juga diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Jadi, secara respektif antara sebuah perintah dan sebuah dispensasi, dan antara sebuah larangan dan sebuah izin terdapat “perlawanan” (tegenspraak). Jika sebuah perilaku tertentu diperintahkan maka orang tidak dapat dibebaskan daripadanya, dan jika suatu perilaku tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izin untuk melakukan hal itu. Namun dapat terjadi bahwa berkenaan dengan suatu perilaku tertentu tidak terdapat suatu perintah maupun suatu dispensasi, atau tidak terdapat suatu larangan maupun suatu izin. Hubungan ini dalam Logika disebut hubungan kontradiksi.
Kaidah-kaidah perilaku dapat diuraikan ke dalam berbagai unsur, unsur-unsur tersebut adalah :
Ø Objek-kaidah, yaitu perbutan yang oleh kaidah dikaidahi.
Ø Subjek-kaidah, yaitu orang yang perbuatannya dikaidahi.
Ø Modus-kaidah, yaitu dengannya diungkapkan dengan keharusan apa perbuatan itu dikaidahi.
Ø kondisi-kaidah (normconditie), yaitu menguraikan (mepaparkan) syarat-syarat yang harus dipenuhi jika kaidah itu (ketentuan akibat-akibat hukum) hendak diterapkan
Kondisi-kaidah dari suatu hukum sering juga disebut sebagai peristiwa-hukum (rechtsfeit), atau lebih cermat sebagai uraian peristiwa hukum (rechtsfeitomschrijving).
Kaidah-kaidah perilaku dalam perundang-undangan dapat dikembalikan pada suatu struktur kondisional.
Ketentuan akibat hukum menunjukkan (indiceert) subjek-kaidah, objek kaidah dan operator kaidah.
Rekonstruksi suatu kaidah yang ada dalam praktek hukum dilaksanakan dalam suatu bahasa yang lebih diformalkan atau bahasa buatan (kunstmatige taal) yang terdiri atas sejumlah konvensi.

II. Kaidah-kaidah Kewenangan
Tata hukum tidak hanya terdiri atas kaidah-kaidah perilaku, tetapi juga atas kaidah-kaidah yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menetapkan dan memberlakukan kaidah-kaidah itu. Kaidah-kaidah yang demikian itu disebut kaidah kewenangan (bevoegheidsnorm).
Kaidah-kaidah perilaku dan kaidah-kaidah kewenangan bersama-sama mewujudkan inti dari tata hukum. Fungsi-fungsi pengkaidahan mereka mutlak diperlukan; fungsi dari kaidah perilaku adalah untuk menata perilaku orang; fungsi dari kaidah kewenangan adalah untuk menetapkan siapa yang berwenang untuk mengkaidahi perilaku orang.
Kaidah kewenangan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu :
a. Kewenangan berdasarkan hukum publik (kewenangan publik) untuk membentuk undang-undang
Dalam undang-undang secara umum ditetapkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk setiap orang. Dalam tata hukum kita terdapat sejumlah kaidah yang memberikan kewenangan kepada jabatan-jabatan pemerintahan (overheidsambten) untuk menetapkan undang-undang.
b. Kewenangan untuk menjalankan pemerintahan
Dalam kaidah-kaidah hukum yang menetapkan kewenangan-kewenangan pemerintahan dinyatakan bahwa jabatan-jabatan pemerintah (overheidsambten) berwenang untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum dalam kejadian-kejadian individual dan konkret.


c. Kewenangan untuk melaksanakan peradilan (kewenangan kehakiman)
Kewenangan kehakiman (rechtsprekende bevoegdheid) meliputi penyelesaian konflik dengan menyatakan suatu putusan yang mengikat para pihak.
d. Kewenangan berdasarkan hukum perdata (kewenangan perdata).
Kewenangan perdata (provate bevoegheden) adalah kewenangan untuk menetapkan kaidah-kaidah.

III. Kaidah-kaidah Sanksi
Konsekuensi yuridik dari perbuatan melawan hukum itu, diantaranya antara lain pelanggaran terhadap suatu perintah, atau suatu larangan, dirumuskan dalam kaidah hukum sama seperti perintah dan larangan. Kaidah hukum yang demikian itu mengkaitkan pada pelanggaran kaidah suatu sanksi sebagai akibat hukum. Berdasarkan akibat hukum ini, maka tipe kaidah-kaidah hukum ini disebut kaidah sanksi.

Kaidah-kaidah sanksi menjadi dipandang demikian penting sehingga dalam berbagai undang-undang kaidah larangan atau kaidah perintah yang melatarbelakanginya tidak lagi dirumuskan secara terpisah (tersendiri). Hanya kaidah sanksinya yang dinyatakan dalam suatu pasal. Jadi, dipandang bahwa dalam kaidah sanksi itu sudah diimplikasikan kaidah larangan atau kaidah perintah yang disanksionisasi.
Ada beberapa jenis kaidah-kaidah sanksi, di antaranya adalah :
1. Sanksi hukuman (strafsanctie)
Sanksi hukuman adalah sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum berupa kewajiban untuk menjalani suatu hukuman.
2. Kewajiban hukum (rechtsplicht)
Kewajiban hukum adalah sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum berupa suatu kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita karena perbuatan itu.

Kaidah-kaidah sanksi dalam hakikatnya mencakup juga kaidah-kaidah perilaku, meskipun memiliki suatu ciri (sifat) yang khusus. Mereka adalah kaidah-kaidah perilaku karena terdapat penetapan kewajiban-kewajiban. Kekhususan dari kaidah-kaidah ini adalah bahwa mereka mewujudkan reaksi terhadap pelanggaran atas kaidah-kaidah perilaku yang dirumuskan atau tidak dirumuskan secara eksplisit. Jadi, mereka adalah sekunder dalam hubungan dengan kaidah-kaidah perilaku primer. Ciri ini tampak jelas dalam struktur kondisional dari kaidah sanksi.

IV. Kaidah-kaidah Mandiri dan Kaidah-kaidah Tidak Mandiri
Kaidah-kaidah mandiri adalah kaidah yang memiliki makna secara mandiri (karena dirinya sendiri). Kaidah-kaidah kewenangan dan kaidah-kaidah perilaku disebut juga kaidah-kaidah hukum mandiri (zelfstandige rechtsnormen).
Dalam kedua tipe utama dari kaidah-kaidah hukum tampil fungsi sentral dari tata hukum : meregulasi perbuatan-perbuatan dari orang-orang dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Kaidah-kaidah perilaku melakukannya dengan menetapkan kewajiban melakukan suatu perbuatan atau justru mengizikannya; kaidah-kaidah kewenangan memberikan ketentuan yang menetapkan kapan suatu kaidah yang ditetapkan untuk perbuatan tersebut adalah kaidah hukum yang terhadapnya orang-orang lain harus tunduk. Kedua kaidah ini bersama-sama mewujudkan inti (de kern) dari tata hukum.
Di samping itu di dalam tata hukum terdapat banyak kaidah-kaidah hukum yang dapat disebut tidak mandiri (onzelfstanding). Kaidah-kaidah tidak mandiri itu mengandung pemaparan perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan, kejadian-kejadian, sifat-sifat pribadi dan lugas sejenisnya, tanpa menyatakan suatu kaidah perilaku atau kaidah kewenangan. Dengan pemaparannya dalam kaidah hukum maka apa yang dipaparkan itu memperoleh suatu sifat normatif.
Kaidah-kaidah hukum tidak mandiri mengandung suatu penjabaran lebih lanjut dari kaidah-kaidah hukum mandiri. Mereka melengkapi uraian peristiwa hukum dari kaidah-kaidah hukum mandiri dengan jalan memperinci, mendefinisikan, mengkhususkan, dan sebagainya. Karena makna normatif mereka tergantung pada kaidah hukum mendiri yang bagi kaidah-kaidah mandiri tersebut mereka memuat ketentuan-ketentuan lebih lanjut, maka mereka disebut tidak mandiri.
Sifat dan fungsi melengkapi dari kaidah-kaidah hukum tidak mandiri dapat kita perlihat dengan menunjuk pada tipe kaidah-kaidah tidak mandiri yang penting, yakni kaidah-organisasi (organisatienorm).
Kaidah-kaidah organisasi adalah kaidah-kaidah hukum yang menetapkan penyusunan dan penataan suatu jabatan. Dalam kaidah-kaidah kewenangan sering jabatan pemerintahan (everheidsambt) ditunjuk sebagai subjek-kaidah.
Dalam kaidah-kaidah kewenangan ini dibangun lebih jauh berdasarkan keberadaan kaidah-kaidah organisasi yang demikian itu yang memuat penunjukan-penunjukan lebih lanjut tentang apa yang harus diartikan dengannya.
Jadi, kaidah-kaidah hukum mandiri mengandaikan keberadaan kaidah-kaidah organisasi, sedangkan kaidah-kaidah organisasi disusun berdasarkan pengetahuan bahwa mereka diperlukan untuk menyempurnakan atau mewujudkan kaidah-kaidah hukum mandiri.

V. Keberlakuan Kaidah Hukum
Orang dapat menyatakan pendapat tentang hukum dalam arti empiris, normatif, dan evaluatif. Peristilah yang sama juga digunakan pada pembedaan berbagai jenis keberlakuan hukum. Ada tiga macam keberlakuan, yaitu :
a. Keberlakuan Faktual atau Empiris Kaidah Hukum
Kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersaranakan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat.
b. Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum
Suatu keberlakuan disebut keberlakuan normatif jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum.
c. Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum
Keberlakuan evaluatif suatu kaidah hukum adalah jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai.
Dari sudut suatu pendekatan kefilsafatan, orang dapat mengatakan bahwa hukum memiliki keberlakuan karena isinya bermakna (keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau materiil). Itu adalah alasan paling penting mengapa para warga masyarakat akan menerima hukum (keberlakuan evaluatif empiris). Jika para warga masyarakat menerima hukum, maka mereka juga akan berperilaku dengan mengacu padanya dan mematuhi hukum (keberlakuan faktual atau empiris). Hal itu sekaligus akan membawa akibat bahwa bagi para pejabat hukum dimungkinkan untuk menerapkan dan menegakkannya (keberlakuan faktual atau empiris).
Jadi, pada hukum cocok sekali bahwa berbagai kaidah memperlihatkan hubungan saling bertautan. Semakin hal itu demikian, maka semakin kuat hukum memiliki keberlakuan normatif atau formal. Walaupun sering terjadi kombinasi berbagai arti keberlakuan kaidah hukum digunakan dalam teori-teori, namun kadang-kadang dalam teori tentang hukum tertentu satu arti tertentu menempati posisi sentral.
Berdasarkan perbedaan dalam pendekatan para teoretikus, orang dapat mengklasifikasi dua kelompok teori.
Kelompok pertama adalah teori-teori yang dibangun atas dasar bahan-bahan empirik. Dalam teori-teori ini keberlakuan faktual dan keberlakuan evaluatif empiris menempati posisi sentral. Cara kerja empiris mengandaikan bahwa peneliti menempatkan diri pada titik berdiri seorang pengamat atau titik berdiri eksternal. Namun banyak teoretikus hukum berpendapat bahwa kaidah hukum adalah gejala yang harus didekati juga dari sudut atau hanya dapat dari sudut titik berdiri seorang partisipan atau titik berdiri internal. Hal itu akan menyebabkan suatu teori empiris murni tentang kaidah hukum menjadi tidak mungkin.
Kelompok teori kedua menolak cara kerja empiris. dalam teori-teori ini, sebagai akibatnya, arti keberlakuan yang lain seperti keberlakuan normatif atau materiil menempati posisi penting. Bukankah orang masih dapat secara empiris menentukan apakah suatu kaidah hukum tertentu dipatuhi oleh para warga masyarakat, tetapi sudah lebih sulit untuk mengkonstatasi apakah hal itu terjadi karena mereka menerima kaidah hukum itu dan apakah penerimaan itu didasarkan pada nilai-nilai yang diwujudkan di dalamnya, maka ia menganut suatu teori yang tidak bertumpu pada bahan-bahan empiris. Hal ini berlaku juga untuk teoretikus yang hanya meneliti keberlakuan formal kaidah hukum.
VI. Kaidah Hukum Positif
Kaidah hukum positif adalah kaidah yang pada suatu waktu tertentu di tempat atau masyarakat tertentu berlaku dan ditegakkan sebagai hukum bagi orang-orang tertentu.
Secara umum, kaidah hukum positif ini mempunyai ciri-ciri obyektif berikut ini :
a. Bagian terbanyak dari kaidah-kaidah ini ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang (pemerintah atau otoritas publik).
b. Memiliki sifat lugas (zakelijk), obyektif dan rasional. Artinya, dapat dikenal, dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang subyektif, dan hampir selalu merupakan hasil dari suatu proses rasional melalui prosedur yang diatur secara cermat.
c. Berkaitan dengan perilaku lahiriah yang dapat diamati.
d. Memiliki cara keberadaan yang khas, yang disebut keberlakuan yang mencakup tiga faset, yakni aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis.
e. Memiliki bentuk tertentu, yakni memiliki struktur formal.
f. Berpretensi untuk mewujudkan tujuan tertentu, yakni mewujudkan ketertiban yang berkeadilan.

1 komentar:

mackeyradant mengatakan...

The latest casino news, info & insights from industry experts
The latest 김제 출장안마 casino news, info & insights from 보령 출장마사지 industry 목포 출장샵 experts · Play casino games at The Borgata Hotel Casino & Spa! · 광명 출장마사지 More poker games available in July. · More free slot 익산 출장마사지

Posting Komentar