Jika kau melihat penindasan dan bergetar hati mu, Dan masuk dalam barisan ku!! Maka kau adalah saudara ku!!

Senin, 19 Oktober 2009

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Undang-undang itu tidak sempurna. Adakalanya Undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya Undang-undang itu tidak jelas. Karena Undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya, yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.
Penemuan hukum, mewujudkan inti pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum adalah sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematika yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum.
Ia berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa yuridis. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan.

I. Penemuan Hukum Oleh Hakim
Penemuan hukum oleh hakim lebih jauh dapat menyebabkan bahwa terhadap formulasi kaidah hukum diberikan makna baru. Putusan hakim yang di dalamnya sebuah makna baru diberikan, dapat berarti sebuah penambahan pada hukum yang ada. Karena hakim harus memberikan penyelesaian yang sama pada kejadian-kejadian yang sama, maka putusan-putusan ini juga selalu mempunyai arti untuk penyelesaian kejadian-kejadian di masa datang.
Hakim tidak membatasi diri hanya pada penelusuran kaidah-kaidah hukum atau penerapan kaidah-kaidah hukum tersebut, ia juga sering memberikan kontribusi pada pembentukan hukum. Karena itu, pengetahuan tentang putusan-putusan hakim mutlak perlu untuk pengetahuan tentang hukum positif. Keseluruhan putusan dari badan-badan yang ditugasi dengan penerapan hukum yang di dalamnya aturan-aturan hukum diinterpretasi atau aturan-aturan baru ditetapkan, disebut yurisprudensi. Yurisprudensi ini dipandang sebagai sumber hukum formal.
Penemuan hukum berkenaan dengan hal penegakan hukum. Terkait padanya, sebuah aspek khusus dari penemuan hukum oleh hakim tampil ke permukaan. Ia selalu berkenaan dengan putusan-putusan yang jika diperlukan dapat dipaksakan dengan bantuan penggunaan kekerasan (geweld). Pada penemuan hukum oleh hakim sebagai tindakan otoritas publik (tindakan pemerintah, overheidshandelen) terkait monopoli otoritas publik (overheidsmonopolie) untuk menggunakan kekerasan. Penemuan hukum berkaitan dengan ihwal penerapan (pengembanan dan/atau penggunaan) kekuasaan.
Tugas dari hakim, pada instansi pertama terletak dalam memberikan putusan-putusan hukum dalam kejadian-kejadian konkret yang sudah terkait terlebih dahulu. Putusannya pada asasnya hanya mengikat bagi pihak-pihak terkait. Hakim, demikian orang menguraikan, tidak dibebani dengan tugas perundang-undangan yang lebih eksplisit terarah ke masa depan dan selalu pada sejumlah kejadian yang banyaknya tidak terbatas.
Penemuan hukum oleh hakim membawa pada putusan-putusan hakim yang mengikat dan dapat dipaksakan, jika perlu dengan bantuan kekerasan.
Peradilan dan penemuan hukum oleh hakim adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah titik berdiri (pendirian), jika mereka membawa pada (menghasilkan) putusan-putusan yang adil. Pendirian yang demikian tidak akan lekas menimbulkan pertanyaan. Namun, masalahnya adalah bahwa ihwalnya tidaklah mudah untuk menetapkan kriteria apa yang harus dipenuhi sebuah putusan agar dapat dikatakan sebagai putusan yang adil.

III. Hukum dan Sumber Hukum sebagai Unsur Penemuan Hukum
Asas-asas hukum sebagai hukum tidak tertulia memainkan peranan yang penting dalam peradilan. Khususnya hal ini terjadi pada bidang hukum administratif. Asas-asas hukum juga dapat memainkan peranan penting jika asas-asas tersebut melandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Yurisprudensi secara umum dipandang sebagai sebuah sumber dari hukum tidak tertulis. Doktrin memberikan kepada yurisprudensi status sebagai sumber hukum formal yang mandiri.

IV. Fakta Sebagai Unsur Penemuan Hukum
Penelitian terhadap fakta-fakta, penemuan kebenaran (waarheidsvinding), adalah sebuah faktor penting pada penemuan hukum. Sebelum hukum tersebut dapat diterapkan terhadap kejadian-kejadian konkrit, maka terlebih dahulu akan harus ditetapkan : a) apa yang sesungguhnya menjadi situasi faktual; b) apa yang dari situasi faktual itu dapat dipandang sebagai relevan secara yuridis.
Pada penentuan fakta-fakta dan dalam kaitan dengan bukti-bukti dari fakta-fakta lain, hakim terikat pada aturan-aturan dari hukum acara dan hukum pembuktian. Untuk seleksi dan penilaian terhadap fakta-fakta sebagai peristiwa-peristiwa hukum, hakim itu terikat pada hukum materiil yang mungkin dapat diterapkan.


V. Teknik Penemuan Hukum
1. Metode Interpretasi
Masalah interpretasi tidak hanya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana harus diinterpretasi, tetapi juga pertanyaan apakah memang tugas dari hakim untuk menjelaskan (menafsirkan) teks Undang-undang. Interpretasi Undang-undang oleh pembentuk Undang-undang sendiri dinamakan interpretasi otentik.
Metode-metode interpretasi yang biasa digunakan dalam praktek hukum adalah sebagai berikut :
a. Interpretasi Gramatikal atau Interpretasi Bahasa
Metode Gramatikal atau Metode Bahasa digunakan jika hakim berusaha memahami makna teks yang di dalamnya kaidah hukum itu dinyatakan dan dalam hat ini bertolak dari makna menurut pemakaian Bahasa yang biasa (sehari-hari) atau dari makna teknik-yuridis yang sudah dilazimkan.
b. Interpretasi Sistematis
Pada metode Sistematis, makna dari formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan menunjuk (mengacu) pada hukum sebagai sistem.
c. Interpretasi Sejarah Undang-undang
Pada metode sejarah Undang-undang orang-orang merujuk pada sejarah terbentuknya Undang-undang itu.
Metode interpretasi sejarah Undang-undang selalu digunakan dan khususnya jika ihwalnya berkenaan dengan Undang-undang mutakhir dipandang sangat penting. Jika ihwalnya berkaitan dengan Undang-undang yang sudah tidak mutakhir lagi, maka pembentukan putusan yang mendahului peraturan perundang-undangan kurang menentukan.
d. Interpretasi Sejarah Hukum
Metode interpretasi sejarah hukum dalam praktek peradilan jarang terjadi. Pada penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum atau suatu pengertian hukum (konsep yuridik) dapat diperhitungkan sejarah dari isi kaidah hukum itu atau pengertian hukum itu dengan mencari pertautan pada penulis-penulis, atau secara umum pada konteks kemasyarakatan dari masa lampau.
e. Interpretasi Teleologia
Metode interpretasi Teleologia merujuk pada penguraian atau penafsiran formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Pada penggunaan metode ini tekanan diletakkan pada fakta bahwa pada kaidah-kaidah hukum terdapat tujuan atau asas yang melandasi dan bahwa tujuan atau asas ini menentukan (berpengaruh) untuk interpretasi, atau bahwa kaidah hukum menyangga fungsi tertentu, atau bermaksud untuk melindungi kepentingan tertentu sehingga pada penerapan kaidah itu juga harus dipenuhi.
Pada metode interpretasi teleologia, penafsiran (penguraian) sebuah Undang-undang dilakukan dalam cahaya tujuan dan fungsi dari kaidah yang dirumuskan di dalamnya dengan memperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual. Cara penafsirannya (penguraiannya) tidak terlalu ditujukan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.
Metode interpretasi teleologia sering digunakan. Ia terutama digunakan pada peraturan perundang-undangan yang tidak begitu mutakhir lagi yang dipandang dapat diterapkan pada situasi keadaan yang tidak sepenuhnya sama dengan situasi keadaan pada waktu berlangsung pembentukan Undang-undang tersebut. Jika tidak dapat ditentukan atau ditunjukkan bahwa tujuan atau fungsi dari kaidah hukum juga dalam konteks kemasyarakatan aktual dalam suatu kejadian konkret masih dapat memiliki makna, maka penerapannya akan dipandang sebagai tidak dapat diterima atau harus ditinggalkan, karena dengan penerapannya penyelesaian yang adekuat tidak dapat dicapai.
f. Interpretasi Antisipatif
Jika dalam memutus suatu sengketa hukum dilakukan perujukan pada sebuah rancangan perundang-undangan di masa depan, kita berbicara tentang interpretasi antisipatif.
Dalam penelaahan atas yurisprudensi dapat disimpulkan bahwa tidaklah semudah itu dilakukan perujukan terhadap hukum yang akan datang. Dari suatu interpretasi antisipatif yang jauh melihat ke depan yang dilakukan hakim, dapat diaimpulkan adanya semacam ancaman (tekanan) kepada pembuat Undang-undang untuk segera menuntaskan pekerjaan mereka.
g. Interpretasi Evolutif-Dinamis
Metode atau interpretasi evolutif-dinamis ini adalah apabila hakim dalam putusannya memberikan makna sangat menentukan (yang mendobrak) aturan-aturan hukum tertentu. Banyak kritik dialamatkan pada metode ini. Perujukan atas metode ini akan sekaligus berarti bahwa hakim mengambil alih peran dan tugas pembentuk Undang­-undang. Makna obyektif dan aktual maupun subyektif dari Undang­-undang di sini sama sekali tidak berperan lagi.
Argumentasi lain yang dapat diajukan terhadap metode ini adalah bahwa cara ini membahayakan kepastian hukum. Ini antara lain berkaitan dengan fakta bahwa pandangan atau ajaran tentang berbagai masalah hukum memang berubah-ubah atau berkembang, namun sulit untuk memastikan bilakah perubahan pandangan demikian telah diterima secara umum.

2. Penghalusan Hukum, Interpretasi Restriktif dan Interpretasi Ekstensif
Terlepas dari metode-metode interpretasi yang sampai saat ini telah disebutkan, dalam kaitan dengan penemuan hukum dibahas juga penghalusan hukum dan suatu interpretasi ekstensif dan restriktif terhadap kaidah-kaidah hukum.
Orang berbicara tentang penghalusan hukum jika hakim pada penerapan hukum menetapkan batas-batas yang tajam pada pengertian-pengertian hukum atau aturan-aturan hukum. Hakim merumuskan satu atau lebih syarat-syarat khusus untuk penerapan kaidah hukum, yang tidak secara langsung dapat diderivasi (disimpulkan, diturunkan) dari kaidah hukum yang bersangkutan.
Penghalusan hukum selalu mempunyai akibat bahwa wilayah penerapan dari ketentuan yang bersangkutan dibatasi (dipersempit). Dalam hal ini orang berbicara tentang interpretasi restriktif. Berhadapan dengan interpretasi restriktif terdapat penafsiran ekstensif terhadap peraturan-peraturan hukum dan pengertian-pengertian hukum. Pada penafsiran ekstensif atas kaidah-kaidah hukum dan pengertian-pengertian hukum maka wilayah penerapan dari sebuah aturan diperluas.

3. Bentuk-bentuk Penalaran
Dapat terjadi bahwa hakim masih harus mengambil keputusan tersendiri tentang penerapan sebuah kaidah hukum yang sudah atau tidak ditafsirkan. Dengan demikian orang dapat menyimpulkan bahwa Undang-undang memperlihatkan suatu “kekosongan” (leemte). Dan berkenaan dengan kekosongan ini maka hakim menerapkan beberapa Bentuk penalaran. Pada masalah-masalah yang berkaitan dengan penerapan kaidah-kaidah hukum dipergunakan dua jenis bentuk menalar; penalaran analogi (argumentatum per anaiogiam) dan penalaran a contrario.
Pada sebuah penalaran a contrario orang bertolak dari hal bahwa wilayah penerapan dari sebuah aturan tidak diperluas. Suatu jangkauan penerapan yang lebih luas yang mungkin dikesampingkan (ditolak) oleh penalaran a contrario. Jangkauan penerapan, tetap tidak berubah.
Penalaran a contrario jarang terjadi. Jika ada penerapan sebuah aturan timbul masalah, sering hat itu dikemas dalam pertanyaan apakah aturan itu harus diterapkan secara analog atau tidak. Penalaran analogi sering terjadi. Sebuah pengecualian adalah hokum pidana materiil, asas legalitas menolak penerapan Undang-undang secara analogikal.

4. Teknik Penemuan Hukum Lain
Jika masalah-masalah yang timbul dalam penerapan hukum tidak dapat diatasi dengan cara menerapkan metode-metode interpretasi atau bentuk-bentuk penalaran yang biasa, maka orang melihat juga bahwa hakim pada penafsiran atau penerapan dari sebuah kaidah hukum : (a) melakukan perujukan pada akal atau, (b) bahwa hakim itu menunjuk pada kepentingan-kepentingan yang pada penerapan kaidah-kaidah hukum memainkan suatu peranan dan cara yang dengan kepentingan-kepentingan tersebut akan harus ditimbang-timbang.
a. Penerapan atau penafsiran Undang-undang secara rasional
Bila dalam sebuah vonis hakim dikemukakan tentang "penerapan Undang-undang secara rasional" maka dimaksudkan suatu penerapan Undang-undang tertentu, sehubungan dengan kejadian yang tengah dibahas, memang sesuai tuntutan akal. Perujukan pada penerapan Undang-undang atau penafsiran Undang-undang secara rasional terjadi dalam hal terdapat sesuatu kekosongan dalam Undang-undang, atau jika hal menerapkan atau justru tidak menerapkan suatu aturan tertentu akan menyebabkan hasil yang jelas-jelas tidak memuaskan. Kebermasalahan dari pembentukan aturan yang tampil dalam kejadian itu tampak jelas tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan-­pendekatan yang lazim, dengan bantuan satu atau lebih metode interpretasi atau dengan bantuan suatu penafaran per analogiam atau a contrario.
Perujukan pada penerapan Undang-undang secara rasional ini Bering terjadi, tetapi secara umum dipandang sebagai sebuah teknik penemuan hukum yang tidak menggembirakan. Orang-orang yang berpikir rasional dapat sangat berbeda pendapat dengan apa yang merupakan penafsiran rasional.
Ihwalnya juga dirasakan sebagai suatu keberatan bahwa hakim tanpa sesuatu pegangan pada metode-metode interpretasi secara mandiri menetapkan apa yang dipertahankan rasionalitas. Jika ihwalnya menyangkut sebuah sengketa penting yang padanya dua atau lebih pendirian yang sangat dapat dipertahankan yang menjadi persoalan, maka sebuah rujukan pada rasionalitas tidak meyakinkan. In cosu anatator dari arrest itu berpendapat bahwa perlawanan dari terdakwa jelas mengemukakan sesuatu yang secara rasional layak tidak dapat dikesampingkan begitu saja, khususnya jika diletakkan dalam cahaya ketentuan-ketentuan yang lain dari berkenaan dengan penyitaan.
b. Menimbang-nimbang Kepentingan
Secara teoretis, tiap sengketa hukum sekaligus merupakan sengketa kepentingan. Dalil ini melandasi bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan pada suatu penimbangan (tindakan menimbang-nimbang) kepentingan individual dan/atau kolektif. Dengan aturan-aturan hukum, kepentingan-kepentingan dilindungi, demikianlah titik tolaknya.
Pada ketidakjelasan dalam hubungan dengan penerapan aturan­-aturan hukum terhadap sengketa-sengketa konkret, maka hakim oleh karena itu akan harus menelusuri apa yang menjadi kepentingan­-kepentingan di situ.
Dari praktek hukum tampak bahwa hakim kadang-kadang secara eksplisit menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan. Orang mengatakan juga bahwa hakim melakukan hal ini dengan bantuan apa yang disebut metode timbangan. Argumen-argumen yang diajukan untuk membela suatu kepentingan tertentu dan argumen-argumen yang diajukan untuk melawan kepentingan yang lain, diletakkan pada timbangan. Menimbang-nimbang kepentingan dalam kerangka dari suatu sengketa sering sekali terjadi.

5. Motivering Vonis
Praktek peradilan memberikan suatu pemahaman ke dalam proses pembentukan putusan-putusan hakim. Hat ini berkaitan dengan asas keterbukaan dan dengan fakta bahwa hakim mengemban kewajiban konstitusional untuk memberikan motivering (pertimbangan) pada putusan-putusan hukum.
Kewajiban motivering bermakna suatu pembaharuan untuk peradilan. Kewajiban untuk memberikan motivering tidak membawa akibat bahwa motivering dari hakim itu harus selalu lengkap atau bernilai banyak. Menurut yurisprudensi dari Hoge Raad, sebuah motivering adalah cacat apabila :
a. berdasarkan isinya motiveirng itu tidak dapat dimengerti;
b. hakim pada penetapan fakta-fakta jelas telah melakukan kekeliruan;
c. hakim telah tidak atau secara tidak layak membahas dalil-dalil yang esensial dari para pihak.

VI. Prosedur Penemuan Hukum
Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya, bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang menentukan adalah peristiwanya. Hakim dianggap tahu akan hukumnya. Maka oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.
Penggugat dalam gugatannya mengajukan periatiwa konkrit juga sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.
Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu dulu. Kemudian setelah peristiwa konkrit dibuktikan dan dikonstatir, maka harus dicarikan hukumnya. Di sinilah dimulainya penemuan hukum (rechtsvinding). Peristiwa yang konkret harus diarahkan pada Undang-undangnya agar Undang-undang itu dapat diterapkan peristiwanya yang konkrit sedangkan Undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit. Menerapkan Undang-undang pada peristiwa hukum tidak lain dari menerapkan silogisme.
Setelah hukumnya ditemukan dan kemudian Undang­undangnya diterapkan pada peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusannya. Untuk ini harus memperhatikan tiga faktor secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim adalah perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan desa, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Untuk dapat memuaskan pihak lain dengan putusannya atau agar putusannya dapat diterima oleh pihak lain, maka ia harus meyakinkan pihak lain dengan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan bahwa putusannya itu tepat dan benar. Dalam hal ini ada beberapa pihak yang menjadi sasaran hakim, yaitu :
1. Para pihak
2. Masyarakat
3. Pengadilan banding
4. Ilmu pengetahuan

0 komentar:

Posting Komentar