Jika kau melihat penindasan dan bergetar hati mu, Dan masuk dalam barisan ku!! Maka kau adalah saudara ku!!

Senin, 19 Oktober 2009

POLITIK HUKUM UUD 1945 Tentang Hak Asasi Manusia

A. Pendahuluan

Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru, dan bangkitnya orde reformasi tatanan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan, terutama berkait dengan Undang-undang Dasarnya yaitu Undang-undang Dasar 1945. UUD 1945 ini telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali (Amandemen pertama dalam SU MPR 1999, kedua dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2000, ketiga dalam ST MPR 2001 dan keempat dalam ST MPR 2002). Tuntutan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan tidak adanya satu sistem ketatanegaraan yang digambarkan sudah sempurna saat dilahirkan, karena UUD 1945 adalah produk zamannya, hasil dari pemikiran para negarawan yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh bangsa pendiri negara lebih setengah abad yang lalu. Ternyata dalam perkembangannya menuntut adanya perubahan-perubahan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat.[1]
Berdasar adanya berbagai kepentingan yang melingkupi proses amandemen UUD 1945, tulisan ini akan menjabarkan lebih jauh tentang politik hukum yang ada pada akar, cabang dan ranting dari hasil amandemen UUD 1945, khususnya terhadap Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan mengenai HAM penting mengingat beberapa kebijakan termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan tentang HAM telah dikeluarkan sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen. Hal ini berarti kebijakan yang ada dalam Pasal 28 UUD 1945 antara lain dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebelum amandemen.
Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dan dasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiil dan formil baru ada setelah dikeluarkannya undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana aksi nasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998. Sebagaimana diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada dua kendala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala teknis prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui pengadilan.

B. Batasan Pembahasan

Dalam kerangka melacak akar, cabang dan ranting politik hukum Undangundang Dasar 1945 pasca mandemen ini, penulis membatasi pada bidang-bidang tertentu. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan lebih mendalam, mengingat Undangundang Dasar 1945 pasca amandemen tidak tepat kalau disebut amandemen, karena realitasnya tidak mengubah bagian-bagian tertentu dalam Undang-undang Dasar, akan tetapi “merubah dan merombak”. Alasan lain yang mendasari pembatasan ini adalah tidak semua perubahan dalam Undang-undang Dasar 1945 ada politik hukumnya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang adalah UUD yang ditetapkan berdasarkan atau melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 beserta perubahan-perubahannya. Perubahan inilah yang merupakan hasil dari amandemen sejumlah 4 (empat kali).
Lebih jauh tulisan ini akan difokuskan pada bidang Hak Azasi Manusia, khususnya yang terdapat dalam Pasal 28 Undang-undang 1945 dan undang-undang organiknya (Undang-undang). Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan apa yang melatarbelakangi dan mendasari diberlakukannya peraturan perundang-undangan tentang HAM.


C. Politik Hukum Bidang Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengertian Tentang HAM
Dalam rangka memahami hakekat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak.23 Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
Hak merupakan kata yang tidak asing bagi umat manusia di seluruh dunia, karena hak merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.[2]
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak universal yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena posisinya sebagai manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Hal ini menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa hal itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.[3]
Piagam PBB Tahun 1948 Pasal 1 Deklarasi HAM sedunia menyebutkan bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan. Deklarasi PBB memberikan penjelasan seperangkat hak hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia.[4] HAM juga berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Atau ada juga yang mengatakan HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki atau pun perempuan. Hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.
Berdasar uraian tentang konsepsi HAM yang telah tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri HAM sebagai berikut:
a. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua manusia lahir dengan martabat yang sama.
c. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain, orang tetap mempunyai HAM, walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggarnya.
Pengaturan Tentang Hak Asasi Manusia.
a. Pembukaan UUD 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan secara ekplisit tentang hak asasi manusia, terkecuali tentang hak asasi bangsa. Namun bila dianalisis lebih dalam akan terlihat, bahwa masalah hak asasi manusia terangkum dan terjelma di dalam hak asasi bangsa sebagaimana terlihat di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa…” Kata kunci dari kalimat ini adalah bangsa dan kemerdekaan. Esensinya dari kata kunci itu adalah kemerdekaan sebagai hak.
b. HAM Dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945
Sebelum amandeman Undang-undang Dasar 1945 pernyataan secara eksplisit perlindungan HAM hanya termuat di dalam Pasal 17, 28, dan Pasal 29 UUD 1945. Tiga pasal tersebut berisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan berfikir, hak bekerja dan hidup, dan kemerdekaan agama.
Sedikitnya pengaturan HAM dalam UUD 1945 sebelum amandeman dapat dimaklumi, karena latar belakang pemikiran pembentukan UUD 1945 waktu itu dipengaruhi sejarah lahirnya negara Indonesia, bahwa negara Indonesia lahir oleh perjuangan rakyat, jadi berlatar belakang pemikiran lebih menitikberatkan pada perjuangan komunal dan meminimalisasi perjuangan individu. Perjuangan komunal lahir akibat perlawanan terhadap kekuatan komunal pula, yaitu oleh bangsa lain; secara ringkas dapat dikatakan perlawanan antara bangsa yang satu dengan bangsa lain.
Setelah amandemen, perlindungan tentang HAM di Indonesia terlihat dalam Pasal 2 amandeman dan Pasal 3 Amandeman UUD 1945. Dalam perlindungan HAM ada tiga nilai yang esensi, yaitu universalitas, jaminan, dan democratie33. Dalam hal ini peranan hukum merupakan hal yang pokok untuk menjaga dan melindungi HAM dan peranan itu menjadi kewajiban bagi negara. Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu fungsi negara hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, Negara hukum adalah ditujukan untuk menjamin atas hak-hak asasi. Jaminan itu harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam suatu negara, atau setidaktidaknya termaklumi dari praktek hukum dan ketatanegaraan sehari-hari.Berdasar amandemen UUD 1945 inilah, khususnya Pasal 3 UUD 1945, maka telah terjadi pembaharuan kebijakan hukum di Indonesia, yang pada mulanya perlindungan hak asasi sangat sumir dan implisit diakui, menjadi secara eksplisit.
Pengaturan tentang HAM dalam konstitusi Indonesia terlihat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Amandemen UUD 1945 yang diatur pada Pasal 28A amandemen sampai dengan Pasal 28J Amandeman UUD 1945.
Pasal 28 A amandeman sampai dengan Pasal 28J amandemen UUD 1945 itu merupakan ketentuan pokok HAM yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945. Penjabaran hak kebebasan tentang:
a. Hak kebebasan memeluk agama dijabarkan pada Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) amandeman UUD 1945;
b. Hak kebebasan untuk hidup dijabarkan dalam Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan ayat (2), Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), Pasal 28J ayat (1) Amandeman UUD 1945;
c. Hak kebebasan untuk berkumpul dijabarkan dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28E ayat (1), dan ayat (3), Pasal 28F Amandeman UUD 1945;
d. Hak kebebasan untuk berpolitik dijabarkan dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (2), dan ayat (3) Amandemen UUD 1945;
e. Hak kebebasan memperoleh keadilan dan diperlakukan adil dijabarkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Amandeman UUD 1945;
c. Ketetapan MPR
Konsep tentang HAM lebih lanjut dijabarkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya pengakuan, penghargaan dan perlindungan HAM telah menjadi agenda MPR sejak awal orde baru tahun 1966. Melalui surat Nomor 1/Pan.IV/ MPRS/1966 tanggal 7 Desember 1966 Panitia Ad Hoc IV MPRS. Panitia ini dibentuk berdasarkan ketetapan MPRS No.A3/1/23/MPRS/1966, telah menyelesaikan Rancangan Keputusan Pimpinan tentang Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban warganegara.
d. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Pengertian tentang HAM ditegaskan apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana tertera pada Pasal 1 angka 1 yang menyatakan: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasar pengertian tentang HAM dalam UUHAM, maka dapat dicermati bahwa HAM termasuk hak yang datangnya berasal dari pemberian Tuhan. Tidak ada HAM yang datang dan diberi oleh kesepakatan suatu masyarakat manusia atau yang diberi oleh alam maupun penguasa. Artinya adanya hak yang melekat pada diri manusia, yang berasal dari ting-kat yang lebih tinggi ketimbang hukum yang dikeluarkan oleh alam atau penguasa duniawi. Jelasnya tidak ada hak bagi penguasa duniawi untuk mencabut atau mengurangi, apa pun alasannya, ketentuan hak yang diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi (Ilahi).[5] Dengan demikian HAM melekat kepada manusia baik ia sebagai makhluk individu maupun ia sebagai makhluk sosial. Ketentuan tentang rincian HAM dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yaitu:
a. Hak untuk hidup sebagaimana tertera pada Pasal 9;
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan pada Pasal 10;
c. Hak mengembangkan diri tertera pada Pasal 11 sampai dengan Pasal 16;
d. Hak memperoleh keadilan tertera pada Pasal 17 sampai dengan Pasal 19;
e. Hak kebebasan pribadi tertera pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27;
f. Hak atas rasa aman tertera pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 35;
g. Hak atas kesejahteraan tertera pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 42;
h. Hak turut serta dalam pemerintahan tertera pada Pasal 43 sampai dengan Pasal 44;
i. Hak wanita tertera pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 dan hak anak tertera pada Pasal 52 sampai dengan Pasal 66;
Secara yuridis formal di Indonesia, pengertian HAM dapat dilihat pada Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU-HAM) yang menyatakan, bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Apabila dicermati lebih dalam definisi HAM yang terdapat di dalam UU HAM maka tidak dapat disangkal HAM, termasuk hak, datangnya berasal dari pemberian Tuhan. Tidak ada HAM yang datang dan diberi oleh kesepakatan suatu masyarakat manusia atau yang diberi oleh alam mau pun penguasa. Artinya adanya hak yang melekat pada diri manusia, yang berasal dari tingkat yang lebih tinggi ketimbang hukum yang dikeluarkan oleh alam atau penguasa duniawi. Jelasnya, tidak ada hak bagi penguasa duniawi untuk mencabut atau mengurangi, apa pun alasannya, ketentuan hak yang diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi (Ilahi).
e. HAM Dalam Perundang-Undangan Lain
Jika dilihat secara komprehensif, kebijakan hukum tentang HAM di Indonesia telah memberi perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap HAM yang berkaitan dengan hak untuk hidup, ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana terlihat dalam ketentuan undang-undang yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Ketentuan undang-undang ini berkenaan dengan hak kebebasan dasar manusia yang berkaitan dengan hak untuk hidup dan memperoleh perlakuan yang adil. Ketentuan undang-undang ini berkaitan dengan hak kebebasan untuk diperlakukan adil dan memperoleh keadilan serta hak untuk hidup.
b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, apabila dilihat dari penjelasan umum undang-undang ini dapat diketahui kebijakan hukumnya, yaitu ingin melindungi, mengembangkan dan memelihara kebebasan mengemukakan pendapat sebagai HAM, pelaksanaannya harus dilak-sanakan dengan penuh tanggungjawab. Jadi pelaksanaan kebebasan mengemukakan pendapat haruslah pula memperhatikan dan pengakuan terhadap hak serta kebe-basan orang lain. Undang-undang ini bersifat regulatip, pada satu sisi dapat melin-dungi hak warga negara, dan pada sisi lain dapat mencegah tekanan tekanan, baik fisik mau pun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum. Sifat regulatip undang-undang ini dapat terlihat dalam substansinya yang mengatur bentuk dan tata cara penyampaian pen-dapat dimuka umum dan tidak mengatur penyampaian pendapat melalui media masa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok pekerja di lingkungan kerjanya.
c. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila dicermati ketentuan yang termuat di dalam undang-undang ini dapat diketahui kebijakan hukumnya, adalah untuk menjaga lingkungan hidup agar manusia dapat berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya, Di samping itu, undang-undang ini menegaskan bahwa hak untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat adalah merupakan hak dasar manusia, agar manusia dapat berkembang. Undang-undang ini sebenarnya merangkum hak untuk hidup, hak ekonomi, hak sosial, dan budaya sebagai HAM yang mendapat perhatian sejak decade 1970-an.
d. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Politik hukum dari undang-undang ini dapat dilihat dari penjelasan umumnya. Pada alinea kedua jelas disebutkan politik hukum dari undang-undang sistem pendidikan nasional ini yaitu dalam rangka menjunjung tinggi HAM. Undangundang menentukan visi dan misi pendidikan yang diarahkan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang ini menjabarkan tentang HAM tentang setiap orang berhak mendapat pendidikan dan mengembangkan diri, budaya, dan masyarakatnya.
Perlindungan HAM yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya lebih khusus diuraikan lebih rinci lagi dalam:
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Penjelasan Umum undang-undang ini jelas disebutkan bahwa lahirnya undangundang ini adalah guna meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja dan pengakuan tentang HAM pekerja. Perlindungan HAM tenaga kerja dalam undang-undang ini meliputi hak untuk memperoleh pekerjaan, hak berserikat, memperoleh upah yang layak, jaminan sosial, dan hak untuk mogok. Politik hukum yang terlihat dalam undang-undang ini adalah melindungi HAM pekerja sangat kuat sekali, hal ini dapat dilihat dari ketentuan tidak boleh mempekerjakan buruh didasarkan diskriminasi, memperlindungi hak untuk memperoleh pekerjaan, dan menegaskan mogok adalah sebuah hak bagi pekerja. Padahal perbuatan mogok dalam sejarah hubungan perburuhan di negara maju pada saat masa industrialisasi adalah perbuatan kriminal dan perbuatan yang dilarang. Pengaturan mogok secara tidak langsung ini didasarkan pada pola pikiran yang dipengaruhi faham liberalisme, di mana buruh dianggap mempunyai kedudukan yang sama dengan pengusaha.
b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Apabila dicermati pada alinea pertama Penjelasan Umum jelas terlihat bahwa undang-undang ini adalah sebagai penjabaran lebih jauh tentang HAM yang berhubungan dengan hak kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Politik hukum yang terlihat dalam pen-jelasan umum tersebut adalah bahwa hak berserikat dan berkumpul tersebut harus dijamin namun pelaksanaan hak ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Dari pernyataan ini, pelaksanaan hak ini haruslah diimbangi pula dengan kewajiban tidak dilaksanakan secara sebebas-bebasnya. Jadi di Indonesia pelaksanaan HAM selalu diikuti dengan kewajiban asasi manusia.
Peraturan tentang persamaan hak bagi semua warga negara terlihat telah diatur secara lebih teknis lagi dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksa-naan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Instruksi ini sangat jelas menjabarkan tentang HAM manusia yang berkaitan dengan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan hak yang demikian ini berkaitan dengan hak politik dan sosial di bidang HAM.
Perlindungan HAM di bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya terlihat dijabarkan lebih rinci dan lebih tehnis dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dalam upaya melindungi upah buruh atau pekerja, sebagaimana dimaklumi bahwa upah adalah bagian yang esensi bagi HAM pekerja. Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150/Kep-Men/2000 ditegaskan bahwa penyelesaian pemutusan hubungan kerja yang dilakukan harus melalui izin Depnaker, pembayaran uang pesangon, penghargaan dan ganti rugi yang diatur secara ekspilit.

D. Kebijakan Dasar Peberlakuan Peraturan Perundang-undangan Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengaturan tentang HAM dalam konstitusi Indonesia terlihat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Amandemen UUD 1945 yang diatur pada Pasal 28A amandemen sampai dengan Pasal 28J Amandeman UUD 1945.
Amandeman yang dilakukan terhadap UUD 1945 ini terjadi akibat tuntutan reformasi, di mana pada masa orde baru perhatian dan perlindungan terhadap HAM kurang mendapat perhatian akibat kekuasaan Presiden dijalankan secara otoriter yang meng-akibatkan tidak dihargai dan dihormatinya HAM. Peluang terjadinya tindakan otoriter ka-rena ketentuan tentang HAM di dalam UUD 1945 tidak secara ekspilisit diterapkan dalam pasal-pasalnya, sehingga penafsiran penjabaran hak kebebasan sebagai HAM yang tertuang di dalam Pembukaan UUD lebih didominasi oleh pemegang kekuasaan, biasanya penafsiran itu dilakukan hanya guna mempertahankan kekuasaan penguasa semata-mata.

Ketetapan MPR
Konsep tentang HAM lebih lanjut dijabarkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya pengakuan, penghargaan dan perlindungan HAM telah menjadi agenda MPR sejak awal orde baru tahun 1966. Melalui surat Nomor 1/Pan.IV/ MPRS/1966 tanggal 7 Desember 1966 Panitia Ad Hoc IV MPRS, Panitia ini dibentuk berdasarkan ketetapan MPRS No.A3/1/23/MPRS/1966, telah menyelesaikan Rancangan Keputusan Pimpinan tentang Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban warganegara.
Berdasarkan Mukadimah Rancangan Piagam tersebut dapat dilihat kebijakan tentang HAM pada waktu itu yaitu melindungi hak kebebasan sebagai HAM sebagaimana terlihat di dalam alinea ketiga Rancangan Piagam tersebut yang menyatakan: “Oleh karena kebebasan serta tanggungjawab itu sifatnya hakiki bagi setiap
manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial, maka kemerdekaan itu adalah menjadi hak semua manusia dan semua bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena berlawanan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Namun, sangat disayangkan, bahwa Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia tersebut tidak ditindak lanjuti dengan Ketetapan MPR, barulah pada tahun 1998 MPR sesuai dengan tuntutan reformasi MPR membuat ketetapan tentang perlunya perlindungan HAM di Indonesia.
TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dari segi isinya memberi arahan tentang politik hukum tentang HAM di Indonesia guna memberikan pengertian, perlindungan dan penghargaan yang ditujukan kepada negara dan aparatur pemerintah. Hal ini dimaklumi karena kewajiban untuk melindungi dan menghargai HAM merupakan tanggungjawab pemerintah sebagai pihak pemerintah. Sebab tidak jarang terjadi pelanggaran HAM secara vertikalah yang sering terjadi, karena pemahaman negara atau pemerintah memiliki kekuasaan yang terkadang mengarah ke absolut sehingga HAM terkadang tidak diperhitungkan demi kepentingan dan tujuan negara. Konsekuensi dari ketentuan ini dapat dimaklumi, karena pelanggaran HAM secara vertikalah lebih banyak terjadi dan berdampak luas bila dibandingkan dengan pelanggaran HAM secara horizontal.
Dengan lahirnya TAP MPR ini maka semakin jelaslah, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sehingga seluruh aparatur negara dan seluruh institusi negara menjalankan fungsi dan tugasnya haruslah berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan semata-mata.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini telah mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabakan oleh prilaku tidak adil dan dikriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Prilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap terhadap warga negara atau sebaliknya). Maupun horizontal (antara warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human right).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal ini tercermin dari kejadian-kejadian berupa penangkan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan., penhilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah penyerangan pemuka agama beserta keluarganya.39 Selain itu terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum.
Kebijakan tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-undang HAM. Pada alenia pertama penjelasan umum ditegaskan bahwa merupakan kewajiban bagi negara, pemerintah, atau organisasi apa pun untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM di Indonesia bahwa Pertimbangan UUHAM memberikan penjelasan tentang politik hukum tentang HAM di Indonesia ditegaskan bahwa negara Indonesia sebagai anggota PBB menyadari tanggungjawabnya untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang HAM. Sebagai tindak lanjut pertanggungjawaban itu, negara Indonesia melahirkan UUHAM. Berdasar pertimbangan ini terlihat jelas komitmen negara Indonesia untuk menjaga dan menghormati serta menegakkan HAM di Indonesia.
Berdasar uraian di atas, hal-hal yang menjadi dasar pemikiran terbentuknya undang-undang Hak Asasi manusia adalah sebagai berikut:[6]
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. pada dasarnya manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya , sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);
d. karena manusia merupakan makhluk sosial maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apa pun;
f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia yang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia manusia terdapat kewajiban dasar;
g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi dan ditegakkan dan untuk pemerintah, aparatur negara dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab menjamin terselenggaranya pernghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Di samping kebijakan dasar, undang-undang ini juga mengatur mengenai Pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang mandiri, partisipasi masyarakat baik dalam bentuk pengaduan dan atau gugatan atas pelanggaran HAM atau dalam bentuk pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan HAM. Dengan demikian kedudukan dari Undang-undang HAM ini adalah sebagai payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaiakan masalah pelangganggaran HAM yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan HAM yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dasar pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan HAM adalah sebagaimana tercantum daalm Pasal 104 ayat (1) Undang-undang No. 39 tahun1999 tentang HAM: “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusi di lingkungan Peradilan Umum.” Dasar pertimbangan yang dijadikan landasan pembentukan Pengadilan Hak Asasi manusia adalah sebagai berikut:
a. pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara baik pada tingkat nasional mupun internasional.
b. pelanggaran menimbulkan kerugian secara materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
c. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan secara khusus.
Dalam undang-undang ini diatur pula mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat. Di samping itu undang-undang ini juga menyebutkan tentang keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana yang dimaksud oleh Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi ini dimaksudkan sebagai lembaga ekstrayudicial yang ditetapkan dengan undang-undang dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.



E. Penutup
Berdasar uraian di atas, dapat disebutkan bahwa hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja, diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.
Oleh karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak-hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas.
Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Dengan demikian setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia yang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia manusia terdapat kewajiban dasar.
Dalam rangka melindungi hak asasi manusia, maka dibentuklah peraturan perundang-undangan tentang HAM yaitu untuk hukum materiilnya dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang ini menitikberatkan pada perlindungan harkat dan martabat manusia secara terinci dan komprehensif. Sedangkan hukum formilnya adalah Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Kedua peraturan ini dalam tingkatan peraturan perundang-undangan nasional merupakan penjabaran operasional dari Undangundang Dasar 1945.







DAFTAR PUSTAKA

Dadang Juliantara, 1999, Jalan Kemanusiaan Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia, Pustaka Lapera, Yogyakarta.

Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara, Yogyakarta, UII, 4 Mei 2002

James W. Nickel, Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights, Terjemahan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.

Mansoor Faqih dkk, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Insist, Yogyakarta, 1999.

T.Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan LBHI, Jakarta, 1987

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
[1] Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: UII, 4 Mei 2002), hlm. 5.

[2] Mansoor Faqih dkk, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Yogyakarta: Insist, 1999, hlm. 17.

[3] James W. Nickel, Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights, Alih bahasa: Titi S. Dan Eddy Arini , Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 10.

[4] T.Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: Yayasan LBHI 1987), hlm. 5

[5] Dadang Juliantara, Jalan Kemanusiaan Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Lapera, 1999), hlm, 98

[6] Penjelasan atas Undang-undang No. 39 tentang HAM.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih!

Posting Komentar